Things my therapist told me:

Nadira Kalisya
5 min readJun 11, 2022

“Maybe we all have darkness inside of us and some of us are better at dealing with it than others.” — Jasmine Warga

just wonderful notes I wrote during my therapy session

I had several times gone to see a psychologist; not because I was that broken or what else but I do think they understand me more. They were trained to understand people more to be exact. They had taken their vows to understand people more by listening and giving several hints of advice. And I could not agree more that healthy people could also seek professional advice. We shouldn’t be ashamed of that. I see them as somewhat a friend of mine who’s capable of giving great advice better — I don’t see them as someone who only cures sick people. I’m not labeling myself sick too.

Actually, my parents brought me to see a clinical psychologist since I was a kid. I learn from them that seeking their help ga berarti kita sakit. We just need great advice and they could give you lots of them. Ditambah lagi, they give you advice yang terbukti secara keilmuan.

Emotions : Anger

I have a thing or two about anger. I’m at my most vulnerable point when I’m angry. Thus, sometimes I couldn’t control my anger. And it sucks — it surely does.

Here are some of the things that my therapist told me about controlling my emotions — most importantly my anger:

  1. Be present with your emotions. Kalau lagi sedih, senang, marah, takut, atau apapun yang dirasakan, harus bisa SADAR kalau lagi merasakan itu. Hal ini paling erat berkaitan dengan amarah. When you’re angry, you have to be present enough to know that you’re angry. How? Breathe. Kalau kamu sadar kamu sedang bernapas, kamu sadar juga kamu marah.
  2. Ketika kamu sedang marah, harus bisa tahu sumber marah kamu apa. Jauhi diri kamu dari sumber marah. YEP, if you’re at the mall and something happened dan kamu bereaksi dengan menunjukkan amarah, go to your safe space. Pergi ke toilet, pergi ke mobil, pergi ke musholla, atau manapun yang kamu anggap safe space kamu. You have to stay away from your source of angriness.
  3. You could express how you feel. But be careful on how to express your emotions. Maksudnya gimana? Iya, lo boleh mukul barang. Tapi mukulnya bantal. Karena lo ga merugikan apapun dan siapapun. Iya, lo boleh lempar barang. Tapi lemparnya bantal. Karena lo ga merugikan apapun dan siapapun. My psychologist told me that the idea of expressing your emotions are alright IF you don’t harm anything or anyone. Mau nangis? boleh. Mau teriak? Boleh. But be mindful not to disturb others.
  4. 4–7–8 breathing technique. 4 seconds to inhale your breath, 7 seconds to hold your breath, and 8 seconds to exhale. Ketika kamu marah dan kamu bisa menarik napas dengan teknik seperti ini = kamu sadar kamu sedang marah. Ketika kamu sadar kamu sedang marah, kamu bisa mengontrol rasa marahmu.

I also quote her saying,

“Berproses memang tidak nyaman. Apakah kamu sudah memiliki willingness untuk berproses? Apakah kamu sudah mencapai titik ready kamu? Karena berproses memiliki risiko, yaitu kamu merasa tidak nyaman. Tapi, berubah tidak pernah ada batasan usia. Kalapun gagal, wajar. Just do it again.”

Berproses memang tidak nyaman. In order for us to grow, we have to expand our wings. And sometimes, it bothers us. Ternyata, rasa tidak nyaman yang mengganggu itu valid. Ketika kita keluar dari suatu zona di hidup kita, baik yang nyaman ataupun tidak, there will always be those lingering emotions. The task is to control those emotions. But, are we willing and ready to do that?

That’s the question we all have to figure by ourselves.

Expectations.

I have been dealing with this specific issue since forever. Setuju gaksih? Manusia memang diciptakan untuk berekspektasi. Yang susah adalah mengontrolnya. Sheez so hard. I envy people who could lower their own expectation easily. Ekspektasi bermain juga dengan perasaan kadang, jadi makin susah.

Here are some of the things that my therapist told me about controlling my expectations:

  1. Harus sadar ketika memang sedang berekspektasi, apalagi jika ekspektasi yang dimiliki berkaitan dengan orang lain. Contoh, kita berekspektasi pacar kita mengerti kita tanpa kita harus bilang apapun.
  2. Be present with your expectation. Maksudnya, kalau udah sadar, acknowledge juga kalau ekspektasi ini bisa banget ga terjadi… ya karena namanya aja ekspektasi — bukan realita.
  3. Jika berkaitan dengan orang, cek apakah pihak lain mampu mengakomodir ekspektasi tersebut atau ya setidaknya mau menerima ekspektasi tersebut. Kalau memang ga berkaitan sama orang, cek juga apakah sebenarnya diri kamu bisa menerima secara utuh langkah yang dilakukan terkait ekspektasi tersebut
  4. Kompromi. “Being mature is about being able to compromise.” I know being mature itself is a big picture. Tapi, being able to compromise shows people that we could 1) Be Patient, 2) Understand others, and 3) Aware of our surroundings. Kompromi artinya yaaa bisa mencari titik tengah atau bahkan mengalah jika memang ekspektasi yang dimiliki tidak diindahkan oleh salah satu pihak.

To make it short, at the very end, not all the things in this world revolve ONLY around us. We have to know that it’s not only about us. and it’s not always about us. Ada pihak lain juga yang perlu dipertimbangkan dan dipikirkan.

Meskipun orang bilang poin ke-4 paling susah, kadang poin pertama aja gue suka miss. Life.

Relationships. Dalam hal ini, not all relationships terkait dengan percintaan. Bisa juga persahabatan.

These past 2 years, i learn so much about friendships. I finally realized that people could really come and go (and this one is perfectly fine). Adjusting adalah hal yang susah. Sometimes, i still found my self dealing with those feelings of confusedness.

Here are some of the things that my therapist told me about maintaining relationships in our life:

  1. Pahami bahwa respon orang lain bukanlah kontrol kita. Namun, kita bisa mengusahakan untuk 1) Tidak menyakiti orang lain dan 2) Menghargai orang lain.
  2. Mengatakan seseorang “jahat” bukanlah hal yang sepenuhnya dapat dibenarkan. Jahat adalah sebuah penilaian subjektif. Jika menganggap seseorang menjahati kita, lebih baik mengubah kata jahat tersebut menjadi “kekurangan dia.” Kekurangan orang lain yang tidak bisa diterima kebanyakan kita anggap sebagai hal yang jahat. Padahal, tidak bisa menerima kekurangan orang lain sebenarnya tidak apa-apa
  3. Pergi dari sebuah hubungan (apapun) adalah sebuah hal yang valid. Kita boleh untuk pergi dari sebuah hubungan in order to prioritize ourself first.
  4. Membuat batasan pada semua hubungan adalah hal yang wajib dilakukan. Apakah membuat batasan adalah hal yang valid? Tentu. Berteman, ya berteman. Pacar, ya pacar. Suami, ya suami. Tapi ga seenaknya. Semua hubungan yang akan terjadi di hidup kita tidak pernah ada jaminannya untuk bertahan selamanya, apakah sedia untuk menerima perubahan tersebut?
  5. Jangan menyakiti diri kita dengan keinginan semu. Jika memang sudah dapat meng-acknowledge kekurangan orang lain, tanyakan kepada diri sendiri, apakah kita bisa menerima kekurangan tersebut? Apakah kita mau untuk bertahan? Apakah kita lebih baik memilih untuk meninggalkan?

Bertahan dan meninggalkan adalah hal yang serupa pada sebuah hubungan yang sudah lama terjalin namun tidak memberikan kebahagiaan bagi kita. Bertahan adalah hal yang dapat membuat kita sedih, begitupula dengan pergi. Jadi, lebih memilih yang mana?

Talking to a professional really helps me. Bener-bener ngebantu gue untuk membuka mata karena banyak hal yang terjadi di hidup ini kadang kita liatnya hanya sebelah mata.

Semua ini memang hanya tulisan. Kalau dilakukan pada setiap orang memang mungkin akan berbeda. Tapi, selalu ingat untuk mengontrol diri sendiri dan menghargai orang lain. That’s the least we could do in the midst of being confused. Mulai belajar untuk lebih aware terhadap diri sendiri dan dunia sekitar. Selalu berpikir untuk becoming the better version of ourselves.

Semangat semuanya. We’re evolving.

--

--